CONTOH-CONTOH TEKS HIKAYAT
Hikayat Batu dan Pohon Ara
Alkisah pada suatu saat di sebuah negeri di timur tengah sana. Seorang saudagar yang sangat kaya raya tengah mengadakan perjalanan bersama kafilahnya. Di antara debu dan bebatuan, derik kereta diselingi dengus kuda terdengar bergantian. Sesekali terdengar lecutan cambuk sais di udara. Tepat di tengah rombongan itu tampaklah pria berjanggut, berkain panjang dan bersorban ditemani seorang anak usia belasan tahun. Kedua berpakaian indah menawan. Dialah sang Saudagar bersama anak semata wayangnya. Mereka duduk pada sebuah kereta yang mewah berhiaskan kayu gofir dan permata yaspis. Semerbak harum bau mur tersebar di mana-mana. Sungguh kereta yang mahal. Iring-iringan barang, orang dan hewan yang panjang itu berjalan perlahan, dalam kawalan ketat para pengawal. Rombongan itu bergerak terus hingga pada suatu saat mereka di sebuah tanah lapang berpasir. Bebatuan tampak diletakkan teratur di beberapa tempat. Pemandangan ini menarik bagi sang anak sehingga ia merasa perlu untuk bertanya pada ayahnya.
“Bapa, mengapa tampak olehku bebatuan dengan teratur di sekitar daerah ini. Apakah gerangan semua itu?”
“Baik pengamatanmu, anakku,” jawab Ayahnya, “bagi orang biasa itu hanyalah batu, tetapi bagi mereka yang memiliki hikmat, semua itu akan tampak berbeda”.
“Apakah yang dilihat oleh kaum cerdik cendikia itu, Bapa?, tanya anaknya kembali.
“Mereka akan melihat itu sebagai mutiara hikmat yang tersebar, memang hikmat berseru-seru di pinggir jalan, mengundang orang untuk singgah, tetapi sedikit dari kita yang menggubris ajakan itu.”
“Apakah Bapa akan menjelaskan perkara itu padaku?”
“Tentu buah hatiku”, sahut Sang Saudagar sambil mengelus kepala anaknya. “Dahulu, ketika aku masih belia, hal inipun menjadi pertanyaan di hatiku. Dan kakekmu, menerangkan perkara yang sama, seperti saat ini aku menjelaskan kepadamu. Pandanglah batu-batu itu dengan seksama. Di balik batu itu ada sebuah
kehidupan. Masing-masing batu yang tampak olehmu sebenarnya sedang menindih sebuah biji
pohon ara.”
“Tidakkah benih pohon ara itu akan mati karena tertindih batu sebesar itu Bapa?”
“Tidak anakku. Sepintas lalu memang batu itu tampak sebagai beban yang akan mematikan benih pohon ara. Tetapi justru batu yang besar itulah yang membuat pohon ara itu sanggup bertahan hidup dan berkembang sebesar yang kau lihat di tepi jalan kemarin.” “Bilakah hal itu terjadi bapa?”
“Batu yang besar itu sengaja diletakkan oleh penanamnya menindih benih pohon ara. Mereka melakukan itu sehingga benih itu tersembunyi terhadap hembusan angin dan dari mata segala hewan. Sampai beberapa waktu kemudian benih itu akan berakar, semakin banyak dan semakin kuat. Walau tidak tampak kehidupan di atas permukaannya, tetapi di bawah, akarnya terus menjalar. Setelah dirasa cukup barulah tunasnya akan muncul perlahan. Pohon ara itu akan tumbuh semakin besar dan kuat hingga akhirnya akan sanggup menggulingkan batu yang menindihnya. Demikianlah pohon ara itu hidup. Dan hampir di setiap pohon ara akan kau temui, sebuah batu, seolah menjadi peringatan bahwa batu yang pernah menindih benih pohon ara itu tidak akan membinasakannya. Selanjutnya benih itu menjadi pohon besar yang mampu menaungi segala mahluk yang berlindung dari terik matahari yang membakar.”
“Apakah itu semua tentang kehidupan ini Bapa?” tanya anaknya. Sang Saudagar menatap anaknya lekat-lekat sambil tersenyum, kemudian meneruskan penjelasannya.
“Benar anakku. Jika suatu saat engkau di dalam masa-masa hidupmu, merasakan terhimpit suatu beban yang sangat berat ingatlah pelajaran tentang batu dan pohon ara itu. Segala kesulitan yang menindihmu, sebenarnya merupakan sebuah kesempatan bagimu untuk berakar, semakin kuat, bertumbuh dan akhirnya tampil sebagai pemenang. Camkanlah, belum ada hingga saat ini benih pohon ara yang tertindih mati oleh bebatuan itu, Jadi jika benih pohon ara yang demikian kecil saja diberikan kekuatan oleh Sang Khalik untuk dapat menyingkirkan batu di atasnya, bagaimana dengan kita ini. Dan Yang Maha Perkasa itu bahkan sudah menanamkan keilahian-Nya pada diri-diri kita. Dan menjadikan kita, manusia ini jauh melebihi segala mahluk di muka bumi ini. Perhatikanlah kata-kata ini anakku. Pahatkan pada loh-loh batu hatimu, sehingga engkau menjdi bijak dan tidak dipermainkan oleh hidupm ini. Karena memang kita ditakdirkan menjadi tuan atas hidup kita.
Hikayat Si Miskin dan Marakarma
Si Miskin bersama isterinya tinggal dalam sebuah hutan di negeri Entah Berentah yang dikuasai oleh seorang maharaja bernama Indra Dewa.
Pada suatu han isteri Si Miskin melahirkan seorang anak aki-laki dan diberi nama Marakarma, yang berarti anak yang dalam kesengsaraan.
Atas kesaktian Marakarma maka berubahlah hutan tempat tinggal Si Miskin itu menjadi sebuah kerajaan yang diberi nama Puspa Sari. Si Miskin dan isterinya menjadi raja dan permaisuri yang bergelar Maharaja Indra Angkasa dan Ratna Dewi. Di Kerajaan Puspa Sari ituhah Ratna Dewi mempunyai seorang anak lagi, seorang putri, yang diberi nama Nila Kusuma.
Kerajaan Puspa Sari makin menjadi masyhur ke mana-mana, yang menyebabkan iri hati Maha-raja Indra Dewa di negeri Entah Berentah.
Tatkala mendengar bahwa Maharaja Indra Angkasa akan memanggil para ahli nujum dan negeri Entah Berentah untuk menujumkan kedua anaknya itu, maka Maharaja Indra Dewa pun menghasut para ahhi nujum itu agar mereka itu menujumkan tidak baik terhadap kedua anak tersebut jika dibiarkan tinggal dalam Kerajaan Puspa Sari.
Akibat penujuman itu, Maharaja Indra Angkasa membuang kedua anak yang masih kecil-kecil itu dengan dibekali tujuh buah ketupat, sebentuk cincin dan sebuah kemala. Tiga hari kedua anak itu meninggalkan istana, maka lenyaplah Kerajaan Puspa Sari tanpa diketahui sebabnya. Rakyatnya bercerai-berai tak tentu arahnya. Setelah kejadian itu berulah Maharaja Indra Angkasa insaf bahwa Ia telah diperdayakan orang. Kedua laki-bini itu akhirnya pergilah keluar masuk hutan untuk mencari kedua orang anaknya itu, namun sia-sia saja.
Marakarma yang mengembara sambil menggendong adiknya dalam hutan itu, pada suatu han dapat menangkap seekor burung untuk makanan adiknya. Tatkala Ia memasuki sebuah kampung untuk meminta api pemanggang burung itu, tiba-tiba Marakarma ditangkap oleh orang-orang kampung itu karena disangkanya pencuri, dan dibuang ke laut. Marakarma dibawa gelombang dan terdampar di pantai sebuah pulau. Kemudian ia diketemukan oleh sejodoh raksasa yang mendiami pulau itu dan di bawa ke rumahnya yang terbuat tulang-tulang dan rambul manusia. Di situ Marakarma bertemu dengan tawanan wanita yang bernama ahaya Khairani, anak Maharaja Malai Kisna dan negeri Mercu Indra. Cahaya Khairani akan dimakan oleh raksasa itu kalau jantungnya sudah besar. Tetapi dengan tidak diketahui oleh kedua orang raksasa itu, kawinlah Markarma dengan Cahaya Khairani. Akhirnya keduanya melarikan diri, dan setelah ada sebuah, kapal yang menolongnya, mereka itu pun meninggalkan pulau tersebut. Melihat kecantikan CahayaKhairani, nakhoda itu bersahabat dengan Maharaja Puspa lndra.
Pada suatu han Cahaya Khairani diundang oleh permaisuri Maharaja Puspa Indra bernama Mandu Ratna untuk bermain-main di istananya. Dalam istana itu tiba-tiba Cahaya Khairani menangis setelah bertemu dengan puteri menantu raja yang bernama Mayang Mengurai. Ketika ditanya mengapa ia menangis, maka dikatakannya bahwa wajah putni Mayang Mengurai sama benar dengan wajah kakaknya. Mendengar itu Mayang Mengurai berkeyakinan bahwa kakaknyä yang bernama Marakarma tentu masih hidup. Mayang Mengurai sendiri sebenarnya tidak lain ialah Nia Kusuma, yang dahulu ditinggalkan sendinian dalam hutan oleh Marakarma. Di hutan itulah Nila Kusuma ditemukan oleh Mangindra Sari, anak Maharaja Puspa Indra, yang sedang berburu ke situ. Ia pun dibawa pulang ke istana oleh Mangindra Sari. Di istana Nila Kusuma dipehihana balk-balk oleh Maha-raja Puspa Indra dan diberi nama Mayang Mengural, yang setelah besar dinikahkan dengan Mangindra Sari.
Marakarma yang telah ditelan oleh ikan nun yang telah mendamparkan din di pantai dekat kapal nakhoda tersebut, akhirnya dapat dikeluarkan dan penut ikan itu oleh seonang nenek kabayan setelah diberi petunjuk oleb seekor burung rajawali, dan kemudian Marakanma tinggal bersama-sama dengan nenek kabayan.
Setelah usaha pencaharian berhas, maka bertemulah Marakarma dengan adiknya dai bertemu pula dengan isterinya, yakni Cahaya Khairani. Nakhoda kapal beserta orang-orang kampun yang dahulu telah membuang Marakarma ke taut, semuanya dibunuh. Setelah kejadian itu, Marakarma pun mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin lagi ito Setetah bertemu, dikembalikannyalah negeri Puspa Sari seperti kebesarannya dahulu. Dalan perjalanannya pulang, di dataran Tinjau Maya Ia bertemu dan berperang dengan Maharaja lndn Dewa dan negeri Entah Berentah. Dahulu di dekat telaga Indra Semandra, Marakarma bany memperoleh sahabat, yaitu tujuh orang raja, yang kini membantunya dalam mengalahkan Maharaj Indra Dewa. Dalam peperangan itu Maharaja Indra Dewa tewas, sedang anaknya bernama Nik Cahaya kemudian dinikahkan dengan raja Bujangga Indra, kakak Cahaya Khairani, yang kemudiar menjadi raja di negeri Entah Berentah. Setelah itu Marakarma mengunjungi mertuanya, yakni Maha raja Malai Kisna di negeri Mercu Indra, dan di sana Marakarma diangkat menjadi raja menggantikan mertuanya. Mayang Mengural sendiri mengikuti suaminya, Mangindra Sari, yang telah menjadi raja mengganti ayahnya di negeri Palinggam Cahaya.
ASIAH BINTI MUZAHIM
Istikomah Hingga Akhir Hayat
Asiah adalah putri seorang raja Kerajaan Mesir Kuno. Ia dibesarkan dalam lingkungan istana yang penuh kemegahan. Ketika beranjak dewasa, ia dinikahkan dengan sepupunyayang kemudian menjadi raja bergelar Fir’aun. Raja Fir’aun memerintah dengan tangan besi. Ia sangat sewenang-wenang dalam memerinah rakyatnya. Kemunkaran terbesarnya adalah memaksa semua orang untuk mengakui dirinya sebagai tuhan.
Asiah sendiri memiliki hati yang lurus, karena hidayah Allah selalu menyertainya. Maka, meskipun Fir’aun memerintah semua orang untuk menyembahnya, Asiah mampu menghindar dari perintah itu. Asiah pun seringkali menasehati Fir’aun untuk berobat dan berbuat baik, tetapi Fir’aun menolak mentah-mentah. Bahkan kekejaman semakin menjadi-jadi semenjak ia bermimpi kekuasaannya akan dihancurkan seorang anak yang berasal dari kalangan Bani Israil.
Sejak mimpinya itu, Fir’aun menyuruh kepada semua pengawal istana untuk membunuh bayi laki-laki yang lain dari Bani Israil. Dan Asiah pun berusaha menyadarkan Fir’aun untuk menghentikan pembunuhan bayi-bayi itu, tetapi Fir’aun sudah buta mata hati, baginya kekuasaan adalah segala-galanya. Asiah pun kesal pada suaminya ini.
Suatu hari, muncullah seorang bayi laki-laki di sungai taman tempat Asiah beristirahat. Hati Asiah langsung jatuh hati melihat bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Musa. Melihat Asiah sangat gembira dan sangat mencintai Musa, maka untuk mengambil hati Asiah, Fir’aun membolehkannya memelihara Musa.
Asiah selalu berusaha memenuhi kebutuhan bayi Musa, Asiah mengumumkan ke seluruh negeri. Takdir Allah menentukan Musa bertemu kembali dengan ibundanya, Yukabid. Dari sekian banyak ibu susu yang datang kepada Asiah, hanya kepada Yukabid saja Musa mau menyusu. Maka Musa pun tumbuh dalam lingkungan kasih sayang ibunya dan Asiah.
Meskipun Musa dibesarkan dalam istana Fir’aun, budi pekertinya halus. Ia pun menyadari bahwa Fir’au adalah raja yang kejam, terutama pada kaumnya, Bani Israil. Setelah dewasa, Musa menunjukan sikap bencinya pada kekejaman Fir’aun.
Suatu ketika, satu kecelakaan menyebabkan Fir’aun ,memerintah untuk menangkap dan menghukum Musa, tetapi musa berhasil melarikan diri. Dalam hal ini pun Asiah berusaha membela Musa. Setelah meninggalkan Mesir dalam kurun waktu yang lama, Musa yang telah menjadi Nabi, kembali ke Mesir dengan maksud mengajak Fir’aun untuk bertobat pada Allah. Tetapi Fir’aun menolaknya mentah-mentah.
Asiah yang memang dari semula berbudi pekerti lurus, langsung mengakuai kerasulan Musa. Ia pun semakin mengokohkan keimanannya dengan mengikuti Musa membaca firman Allah yang berbunyi, “ Rabb yang menguasai timur dan barat serta segala yang ada diantara keduanya, bila kamu mau memikirkannya.” (QS Asy-Syu’araa: 28).
Mendengar perkataan Asiah, Fir’aun marah besar, ia memerintahkan pengawal istana untuk menyiksa Asiah supaya taat padanya. Segala upaya penyiksaan dari mulai yang ringan sampai terberat dilaksanakan, tetapi Asiah tidak bergeming. Akhirnya Asiah syahid menemui sang khalik saat mempertahankan keimanannya.
HIKAYAT DAN UNSUR-UNSUR INTRISIKNYA
1. Hikayat
1.1 Pengertian Hikayat
Hikayat merupakan bentuk cerita yang berasal dari Arab yang mulai dikenal di Indonesia sejak masuknya ajaran Islam ke Indonesia. Hikayat hampir mirip dengan dongeng yaitu penuh dengan daya fantasi. Biasanya berisi cerita kehidupan seputar istana, kisah cerita anak-anak raja, pertempuran antar negara, seorang pahlawan yang memiliki senjata sakti, dan sebagainya. Hikayat sering kali disebut sebagai dongeng istana. Tokoh dalam hikayat sudah dapat dipastikan raja, permaisuri, putra dan putri raja, juga para kerabat raja. Cerita terjadi di negeri antah berantah dan selalu berakhir dengan kemenangan tokoh yang selalu berpihak pada hal yang benar.
Hartoko dan Rahmanto (1988: 59) mengatakan bahwa hikayat adalah jenis prosa, cerita melayu lama yang mengisahkan kebesaran dan kepahlawanan orang-orang suci di sekitar istana dengan segala kesaktian, keanehan, dan mirip cerita sejarah atau membentuk riwayat hidup.
Hikayat adalah karya sastra lama melayu yang berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan atau sekadar untuk meramaikan pesta. Misalnya: Hikayat Hang Tuah, Hikayat Seribu Satu Malam.
1.2 Ciri-Ciri Hikayat
Menurut Hartoko dan Rahmanto (1988: 59) ciri-ciri hikayat yaitu:
a. Sebagian besar berupa sastra lisan (disampaikan dari mulut ke mulut);
b. Anonim (tidak dikenal nama pengarangnya);
c. Komunal (hasil sastra yang ada dianggap milik bersama);
d. Statis (tidak mengalami perubahan atau perkembangan);
e. Tidak berangka tahun (tidak diketahui secara pasti kapan karya tersebut dibuat);
f. Istana sentris/kraton sentries (kehidupan raja-raja dan kaum kerabatnya);
g. Menimba bahannya dari kehidupan raja-raja dan dewa-dewi.
2. Unsur-Unsur Intrinsik Hikayat
2.1 Tokoh/Penokohan
Yang dimaksud dengan tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakukan dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan.
Wahid (2004: 84) mengemukakan bahwa berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Tokoh sentral protagonis. Tokoh sentral protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif.
b. Tokoh sentral antagonis. Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.
Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu
a. Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercataan tokoh sentral (protagonis atau antagonis).
b. Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.
c. Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja.
Sayuti (1996: 49) mengemukakan bahwa berdasarkan cara menampikan perwatakannya, tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Tokoh datar/sederhana/pipih. Yaitu tokoh yang diungkapkan atau disoroti dari satu segi watak saja. Tokoh ini bersifat statis, wataknya sedikit sekali berubah, atau bahkan tidak berubah sama sekali (misalnya tokoh kartun, kancil, film animasi).
b. Tokoh bulat/komplek/bundar. Yaitu tokoh yang seluruh segi wataknya diungkapkan. Tokoh ini sangat dinamis, banyak mengalami perubahan watak.
Semi (1988: 39) mengemukakan bahwa ada beberapa metode penyajian watak tokoh, yaitu
a. Metode analitis/langsung/diskursif. Yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.
b. Metode dramatik/taklangsung/ragaan. Yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.
c. Metode campuran. Yaitu penyajian watak tokoh melalui cara dramatik dan analitik secara bergantian.
2.2 Alur
Alur yang biasa disebut juga plot adalah rangkaian kejadian dalam cerita. Rangkaian kejadian itu harus dibangun berdasarkan hubungan sebab-akibat. Sebuah peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita haruslah berdasarkan sebab yang masuk akal dan logis. Oleh karena itu, alur memiliki rangkaian peristiwa yang direka oleh pengarang melalui tahap-tahap peristiwa yang saling berhubungan.
Pada garis besarnya bentuk alur dibagi menjadi dua macam, yakni (1) alur lurus (maju) dan (2) alur sorot balik (mundur). Alur lurus berarti suatu peristiwa yang disusun dengan model pembeberan awal-tengah-akhir, yang mewujudkan dengan eksposisi-komplikasi-klimaks-peleraian-penyelesaian. Sedangkan alur sorot balik (mundur) menggunakan pola rangkaian tengah-awal-akhir, atau akhir-awal-tengah, dan sebagainya, Abrams (dalam Pradopo, 1985: 7).
Alur adalah urutan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Saxby (dalam Nurgiantoro, 2005: 68) menjelaskan bahwa alur merupakan aspek pertama dan utama yang harus dipertimbangkan karena aspek inilah yang menentukan menarik tidaknya cerita dan memiliki kekuatan untuk mengajak pembaca secara total mengikuti cerita. Alur membuat segala sesuatu yang dikisahkan bergerak dan terjadi. Alur menghaadirkan cerita, dan cerita itulah yang dicari untuk dinikmati pembaca.
2.3 Latar
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar meliputi penggambaran letak geografis (termasuk topografi, pemandangan, perlengkapan, ruang), pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh.
Menurut Nurgaiantoro (2004: 227-233) unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu:
a. Latar tempat
Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu atau inisial tertentu.
b. Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Maslah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu.
c. Latar sosial
Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku-perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan masyarakat sosial mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks serta dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan cara bersikap. Selain itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan.
2.4 Tema
Tema adalah pokok pengisahan dalam sebuah cerita. Cerita atau karya sastra yang bermutu tidak lain adalah karya sastra yang bermutu baik, yaitu mampu menggugah panangan dan perilaku yang negatif menjadi positif (Hendi, 1991: 31).
Menurut Zulfahnur (dalam Wahid, 2004: 74) bahwa tema adalah ide yang mendasari karya sastra. Tema merupakan suatu dimensional yang amat penting dari suatu cerita karena dengan itu, pengarang dapat membaayangkan dalam fantasinya tentang cerita yang akan dibuat.
Nurgiantoro (2005: 80) menjelaskan bahwa tema dalam sebuah cerita dapat dipahami sebagai sebuah makna. Makna yang mengikat keseluruhan unsur cerita sehingga cerita itu hadir sebagai sebuah kesatuan yang padu. Berbagai unsur fiksi seperti alur, tokoh, sudut pandang, latar, dan sebagainya berkaitan secara sinergis untuk bersama-sama mendukung eksistensi tema. Dalam sebuah cerita, tema jarang diungkap secara eksplisit, tetapi menjiwai keseluruhan cerita. Adakalanya memang dapat ditemukan sebuah kalimat, alinea, atau kata-kata dialog, yang mencerminkan tema keseluruhan. Jadi, walaupun eksistensi tema itu dalam sebuah cerita tidak diragukan, dan pada umumnya dapat dirasakan, subtansi kebenarannya harus ditemukan lewat pembacaan dan pemahaman yang kritis.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tema dalam sebuah cerita adalah ide sentral yang menguasai suatu cerita, merupakan gagasan dasar yang menopang karya sastra. 2.5 Amanat
Sudjiman (1986: 56) menyatakan bahwa dari sebuah karya sastra ada kalanya dapat diangkat sebuah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang itulah yang disebut amanat. Amanat terdapat pada sebuah karya sastra secara implisit atau secara eksplisit. Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral disiratkan didalam tingkah laku tokoh menjelang cerita. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, dan sebagainya berkenaan dengan gagasan yang mendasari cerita tersebut.
Seiring dengan hal tersebut, Zulfahnur dkk (1997: 26) mengemukakan bahwa sebuah karya sastra adakalanya dapat berupa ide, gagasan, ajaran moral, dan nilai-nilai kemanusiaan yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Berdasarkan paparan yang dikemukakan tersebut dapat disimpulkan bahwa amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat dapat disampaikan secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, dapat pula secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.
2.6 Sudut Pandang (Point of Fiew)
Gray membedakan pencerita menjadi pencerita orang pertama dan pencerita orang ketiga.
1. Pencerita orang pertama (akuan).
Yang dimaksud sudut pandang orang pertama adalah cara bercerita di mana tokoh pencerita terlibat langsung mengalami peristiwa-peristiwa cerita. Ini disebut juga gaya penceritaan akuan.Gaya penceritaan akuan dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Pencerita akuan sertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencnerita menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.
b. Pencerita akuan taksertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencerita tidak terlibat menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.
2. Pencerita orang ketiga (diaan).
Yang dimaksud sudut pandang orang ketiga adalah sudut pandang bercerita di mana tokoh pencnerita tidak terlibat dalam peristiwa-peristiwa cerita. Sudut pandang orang ketiga ini disebut juga gaya penceritaan diaan. Gaya pencerita diaan dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Pencerita diaan serba tahu, yaitu pencerita diaan yang tahu segala sesuatu tentang semua tokoh dan peristiwa dalam cerita. Tokoh ini bebas bercerita dan bahkan memberi komentar dan penilaian terhadap tokoh cerita.
b. pencerita diaan terbatas, yaitu pencerita diaan yang membatasi diri dengan memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya. Jadi seolah-olah dia hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja.
Kadang-kadang orang sulit membedakan antara pengarang dengan tokoh pencerita. Pada prinsipnya pengarang berbeda dengan tokoh pencerita. Tokoh pencerita merupakan individu ciptaan pengarang yang mengemban misi membawakan cerita. Ia bukanlah pengarang itu sendiri.
Jakob Sumardjo membagi point of view menjadi empat macam, yaitu
a. Sudut penglihatan yang berkuasa (omniscient point of view). Pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia tahu segalanya.
b. Sudut penglihatan obyektif (objective point of view). Pengarang serba tahu tetapi tidak memberi komentar apapun. Pembaca hanya disuguhi pandangan mata, apa yang seolah dilihat oleh pengarang.
c. Point of view orang pertama. Pengarang sebagai pelaku cerita.
d. Point of view peninjau. Pengarang memilih salah satu tokohnya untuk bercerita. Seluruh kejadian kita ikuti bersama tokoh ini.
2.7 Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah semacam bahasa yang bermula dari bahasa biasa yang digunakan dalam bahasa tradisional atau literal untuk menjelaskan orang atau objek. Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan imajinatif menjadi lebih segar dan berkesan (Minderop, 2005: 51).
Gaya bahasa mencakup arti kata, citra, perumpamaan, serta simbol dan alegori. Arti kata mencakup arti denotasi dan konotasi, sedangkan perumpamaan mencakup simile, metafora, dan personifikasi.
a. Simile yakni perbandingan langsung antara benda-benda yang tidak selalu mirip secara esensial. Perbandingan yang simile, biasanya terdapat kata seperti atau laksana, dan ketimbang atau daripada.
b. Metafora yaitu gaya bahasa yang membandingkan suatu benda dengan benda yanglain secara langsung.
c. Personifikasi yaitu suatu proses penggunaan karakteristik manusia untuk benda-benda non manusia termasuk abstraksi atau gagasan.
Selain gaya bahasa tersebut, Tarigan (1984: 164) mengemukakan bahwa dalam karya sastra ada gaya bahasa lain yang sering kita jumpai. Gaya bahasa tersebut adalah
a. Gaya bahasa ironi, yakni jenis gaya bahasa yang mengemukakan suatu hal dengan makna yang berlainan, merupakan suatu kualitas dalam setiap pernyataan atau situasi yang muncul dari kenyataan bahwa yang wajar, yang diharapkan tidak disebut atau dilaksanakan tetapi diganti dengan kebalikannya.
b. Paradoks, yakni gaya bahasa pertentangan.
c. Simbolisme yakni penggunaan lambang-lambang tertentu yang memiliki makna yang mengisyaratkan sesuatu untuk mencapai pesan yang ingin disampaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Hartoko, Dick & B. Rahmanto. 1988. Pemandu Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.Hendi, Zaidan. 1991. Pelajaran Sastra (untuk SMA kelas II). Jakarta: Grasindo.
Mderop, Albertine. 2005. Metode Karakteristik Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Universitas Press.
Nursito. 2000. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Sayuti A Suminto. 1996. Apresiasi Prosa Fiksi. Jakarta: Depdikbud.
Sudjiman, Panuti. 1988. Menentukan Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumarjo, Jakob. 1994. Antologi Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia.
Semi, Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa
Wahid, Sugira. 2004. Kapita Selekta Kritik Sastra. Makasar: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah
Zulfahnur dkk. 1996/1997. Teori Sastra. Jakarta: Depdikbud. .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar